Katakan Kau Punya Tuhan yang Besar

on Senin, 06 April 2009

Katakan! Kau Punya Tuhan yang Besar
Oleh Resti Diah Utami

“Dek, bobo yuk..dah malem...”, rayuku pada si bungsu
Dia tak memberikan reaksi sedikitpun. Dipeluknya guling kumal kesayangan sambil menangis.
“Hiks..…hiks…Ma……kok Papa belum pulang..kemaren gak pulang, sekarang juga…. “
Kasihan aku melihatnya terpaku menghadap jendela sambil berharap papanya pulang. Andai saja ia tau apa yang sedang terjadi dengan ayahnya. Namun, tak pantas rasanya aku bercerita tentang ayahnya kepadanya. Aku tak mau membuat hatinya terluka.
“Insya Allah besok pulang, Sayang….yuk bobo dulu…sini sama Mama…”
Ku gapai tubuhnya yang masih berdiri di atas sofa. Begitulah yang harus aku lakukan untuk membuat si bungsu tidur. Sebenarnya hatiku juga hancur sama kiranya seperti si bungsu yang harus menunggu kehadiran sang ayah di rumah. Angin malam sungguh menusuk tulang. Ku edarkan pandangan sekeliling. Tak terdengar deru mesin motor ayahnya. Ya sudahlah, desahku dalam hati. Aku masuk ke rumah dan mengunci pintu.
“Ma, Mba Diah kapan pulang ya? Kok Mba Diah gak pulang sih kayak Papa?”
“Mba Diah kan tinggal di asrama, jadi gak pulang ke sini…”
“Kenapa? Mba Diah gak sayang lagi ya sama kita? Hiks…hiks…Tiar sebel sama Papa….Tiar sebel sama Mba Diah….mereka ninggalin kita sendirian,” ujar si bungsu.
“Mba Diah sayang kok sama kita, Mba Diah tinggal di sana kan buat sekolah, karena sekolah Mba Diah jauh dari rumah kita, makanya Mba Diah tinggal di sana, Sayang”, ujarku sambil mengelus rambutnya.
“Berarti kantor Papa juga jauh dong, Ma. Papa tinggal di asrama ya, Ma?”
Ku dekap si bungsu makin erat. Ayahmu bukan di asrama, Nak, tapi ia sedang jatuh dalam asmara. Tersayat hatiku jika mengingat hal itu. Sampai saat ini tak ada kejelasan darinya atas statusku baginya. Mungkin ia kira pernikahan itu mainan yang mudah saja dibuang setelah bosan.
*****
Uang….. memang aku tidak punya uang untuk melunasi seluruh hutangnya. Aku memang bukan wanita karir yang dapat memberinya uang. Tiga bulan yang lalu ia terlibat hutang atas barang yang ia jadikan modal untuk usaha agen minumannya. Sepengetahuanku, usahanya berjalan lancar-lancar saja. Sering ada orderan datang ke rumah yang minta dikirimi barang. Namun, tiba-tiba ia mengeluh padaku bahwa uang modalnya habis. Walaupun aku tak mengerti masalah perhitungan untung rugi, seharusnya pemasukan dan uang yang dipakai untuk modal itu seimbang. Aku makin bingung, kok bisa dia mendapatkan kerugian? Alasannya, uang yang buat putar modal terpakai. Terpakai untuk apa? Perasaan, aku tak pernah meminta sesuatu yang mahal, apalagi anak-anakku. Lalu siapa yang menyebabkan uang itu terpakai? Ia tak bisa bicara apapun padaku. Diam seribu bahasa. Dugaan-dugaan buruk bercokol di pikiranku. Jangan-jangan uang itu habis di meja judi? Mungkin saja ia kena tipu lintah darat? Atau jangan-jangan uangnya dicuri maling? Ya Allah, kenapa jadi begini? Tapi, aku sama sekali tak menangkap tanda-tanda suamiku mengalami hal yang tadi ku sebutkan di atas.
Seminggu telah lewat, suamiku meninggalkan usahanya dan sekarang bekerja di perusahaan rekan lamanya dulu. Tapi yang namanya hutang, tetaplah hutang. Walaupun suamiku sudah alih profesi tetap saja si rentenir akan menagih sampai suamiku siap membayar hutangnya.
“drtttttdttttttrrr…….”
Handphone suamiku bergetar. Kulihat di layar, ada sms yang masuk. Suamiku sedang di kamar mandi. Bagai tersambar petir di siang hari. Aku terkejut bukan main. Apa maksud isi sms ini? Tanyaku dalam hati. Langit-langit kamar seperti runtuh menimpaku. Ya Allah, aku tak pernah menyangka ternyata suamiku melakukan itu. Aku beristighfar berkali-kali untuk menenangkan hatiku.
Mas Fauzan sayamg, kapan mas datang lagi ke sini. Aku dah gak punya uang nih. Kamu masih sayang gak sih sama aku? Mana janji kamu, mas? Inget loh, Sayang. Kamu punya tanggung jawab sama aku.
Ya Rohman, lindungilah hatiku dari rasa marah. Mungkin aku sedang mimpi. Ku tepuk-tepuk pipiku, tapi terasa sakit. Jelas, aku tak sedang bermimpi. Teganya ia melakukan itu di belakangku. Apa salahku? Aku tak pernah mencintai orang lain selain dirinya. Dia memang pacar pertamaku yang langsung meminangku. Tapi, aku tak tahu aku ini pacar ke berapa dari suamiku? Menurutku itu hal yang tak perlu dipertanyakan. Yang penting, aku sudah jadi keluarga bahagia dengan anak-anakku, Diah dan Tiar.
Aku tak pernah mempermasalahkan berapa banyak gaji yang didapat suamiku. Memang begitulah idealnya seorang istri, ikhlas menerima berapapun penghasilan suaminya. Aku jarang meminta hal-hal lain kepadanya. Aku khawatir menjadi beban untuk Mas Fauzan. Teganya ia berselingkuh di belakangku. Aku tak habis pikir, kok bisa ia memberikan uang kepada wanita lain yang bukan istrinya. Biaya hidup untuk keluarga saja harus berhemat. Apa kurangnya diriku hingga Mas Fauzan mencari wanita lain? Aku selalu melayani apa yang dia inginkan. Apa yang salah dariku? Seingatku, Mas Fauzan jarang marah padaku. Kata temanku, Mas Fauzan sedang mengalami puber kedua. Semoga itu hanya sebuah fase, harapku dalam hati.
Hampir sebulan aku bekerja menjadi buruh pabrik permen. Uang yang diberikan Mas Fauzan jelas tak cukup untuk membiayai hidup aku dan Tiar di rumah. Aku juga tak tahu apakah Mas Fauzan mengirimi Diah uang setiap bulannya. Aku terpaksa meninggalkan Tiar di rumah. Aku titipkan makan siangnya kepada tetangga sebelahku. Mas fauzan jarang pulang. Bulan lalu aku hanya diberikan sebagian dari gajinya. Ketika ku menanyakan alasannya, ia menjawab uang yang sebagian lagi digunakan untuk bayar hutang kepada rentenir. Namun, ketika ku hubungi si rentenir, aku malah mendapat omelan dari si rentenir itu. Dia bilang suamiku tidak bertanggung jawab. Suamiku seakan meninggalkan dan melupakan semua hutangnya. Ya Allah, kebohongan apalagi yang nantinya ku terima. Aku tak bicara pada suamiku kalau aku tahu ia berselingkuh. Aku tak mau ada pertengkaran. Itu hal yang tidak bagus untuk disaksikan oleh si bungsu. Aku juga tak mau kehilangan Mas Fauzan. Aku sangat mencintainya. Mungkin ia sedang khilaf. Biarlah ku pendam masalah ini sendiri. Akupun tak menceritakan kepada Diah masalah ini. Aku tak mau menggangu pikirannya. Aku yakin Allah pasti akan membuat Mas Fauzan kembali seperti dulu.
“Mas, nanti mau pulang jam berapa?” tanyaku sambil merapikan seprei tempat tidur.
“Nggak tau, kamu nggak usah nungguin saya pulang,” ujarnya acuh.
Ya Allah, sakit sekali hati ini. Tak berpikirkah ia tentang perasaanku? Aku tak bisa lagi membendung perasaan ini. Air mata membasahi kedua pipiku. Semalam Mas Fauzan baru pulang jam 2 malam. Alasannya sedang lembur karena banyak kerjaan.
“Memang kenapa? Mas fauzan gak akan pulang ke sini lagi? Mas, aku berhak tahu kemana saja mas pergi? Aku juga berhak tahu apa saja yang Mas Fauzan kerjakan seharian? Aku yang lebih berhak daripada perempuan itu,”
“Jangan sembarangan kamu kalau bicara!!! Maksud kamu apa? Kamu kan tahu saya seharian kerja cari uang buat kamu. Pake nanya lagi!!!” ujarnya naik pitam.
“Mas nggak usah banyak bohong, aku tahu kamu selama ini selingkuh di belakangku. Zina itu perbuatan yang dibenci Allah, Mas,”
Darah segar mengalir dari sela bibirku. Wajahku terasa panas. Tamparannya cukup keras mengenai pipiku. Teganya ia menamparku.
“Aku balas dendam sama ayahmu yang sombong itu. Seenaknya saja ia menghinaku. Dia bilang aku suami yang hanya mampu membuat keluarga susah. Besok aku tak akan tinggal di sini lagi. Aku sedang mengurusi perceraian kita. Silakan kamu cari lelaki lain yang mampu membuatmu bahagia. Aku benci sama kamu dan keluargamu. Dasar matre!!!”
Ia langsung pergi dari hadapanku. Aku hanya bisa menatap punggung suamiku. Lidahku kelu. Hatiku remuk redam. Aku seakan terlempar ke jurang yang amat curam. Tubuhku lemas bagai tak bertulang. Aku duduk di tepi tempat tidur. Omongan Mas Fauzan masih terngiang-ngiang di telingaku. Cintaku padanya hancur tercabik-cabik. Cinta yang selama ini membutakan mata hatiku. Cinta yang menutup kalbuku akan Kekasih yang maha penyayang.
Ya Allah, semoga ini memang menjadi jalan yang terbaik buat hidupku dan anak-anakku. Ampuni aku karena melakukan perbuatan yang tidak disenangi olehMu. Ampuni suamiku, ya Allah. Tolong redakan rasa dendam dan amarahnya. Ampuni juga orang tuaku yang khilaf. Ampuni aku yang telah lama melupakan cintaMu yang hakiki, ya Rohman. Aku jarang memuji asmaMu, aku terlalu sibuk akan urusan dunia.
********
“Kriiiiiiiingggggg…………”
Bunyi handphone melepaskan dekapanku kepada si bungsu.
“Tunggu sebentar ya, Sayang. Mama mau terima telepon dulu,”
Si bungsu tertegun di tepi tempat tidur. Aku langsung menekan tombol hijau di handphoneku.
“Halo……ya wa alaikum salam….ini dari siapa…..inna lillahi wa inna ilahi raji’un….baik, Sus….saya segera ke sana,”
“Dari siapa, ma?”
“Ayo cepet ganti baju, Sayang. Kita ke rumah sakit. Papa ada di sana,”
Aku bergegas mencari taksi yang lewat depan rumah. Pikiranku kacau. Mas Fauzan koma berat. Ia menerobos lampu merah dan tertabrak kontainer barang ekspor. Ya Allah, kau telah tunjukan akhir yang terbaik dari masalahku. Maha besar Allah dan segala puji bagi Tuhan semesta alam. Engkau telah mengambil suamiku agar ia tak membuat dosa yang ;lebih banyak lagi di dunia. Ya Rohman, ya Rohim, Engkau maha bijaksana. Ampunilah dosa Mas Fauzan dan ringankanlah siksa kuburnya.
Ku tekan tombol handphoneku. Nada tunggu terdengar. Hatiku berdegup kencang. Apa yang harus ku katakan kepada Diah? Haruskah ku bicara yang sejujurnya terjadi? Atau bagaimana? Ya Allah aku tak bisa berpikir jernih. Tolong tenangkan hatiku, ya Ghafar.
“Assalamu alaikum, Ustadzah. Ini ibunya Diah. Tolong beritakan pada Diah, ayahnya mengalami kecelakaan dan telah meninggal dunia,”
“Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Baik, bu. Insya Allah saya sampaikan. Tabah ya, bu…” ujar Sekar, salah satu pembina asrama Diah.
“Insya Allah, Ustadzah. Terima kasih ya, maaf sudah mengganggu malam-malam. Assalamu alaikum…”
Ku tutup telepon dan keluar dari taksi. Aku langsung melangkah ke ruang ICCU rumah sakit. Ku buka selimut putih dan tampak wajah kaku Mas Fauzan. Darah sudah tak lagi mengaliri tubuhnya. Allah maha kuasa. Manusia adalah makhluk lemah di hadapannya. Hanya Dialah yang pantas menyombongkan diri, bukannya manusia. Maka, katakanlah pada masalahmu bahwa kau punya Tuhan yang besar, dan jangan katakan pada Tuhanmu bahwa kau punya masalah yang besar. Allah swt tak pernah luput dari rasa cinta yang Dia berikan kepada setiap makhlukNya.

1 komentar:

Muhammad Alifa Farhan mengatakan...

jadi inget alif ya..
hehe..

makasih ya..
buat semuanya..

Posting Komentar